Diskripsi Mas…
- Diskripsi Masalah
Masalah baru muncul dalam dunia hukum plus perbankan kita, sebagaimana yang sudah terjadi sekarang ini BRI menerapkan aturan kepada para nasabah, BRI meminta bantuan Notaris untuk menjadi penengah dalam usahanya mengucurkan kredit (pinjaman) bagi nasabah. Mereka (pihak Notaris) diminta kehadirannya menjadi saksi transaksi antara BRI dan nasabah dengan sebuah pencatatan hitam di atas putih, kurang lebih demikian: ‘‘Tuan Harun sebagai nasabah (pihak pertama) telah meminjam kepada BRI (sebagai pihak kedua) dengan nilai sekian dan transaksi ini dilaksanakan hari ini tanggal sekian di hadapan Tn. Bambang SH. (pihak Notaris)’’. Diharapkan, sewaktu-waktu terjadi perselisihan antara nasabah dan pihak BRI yang perlu diselesaikan di pengadilan, pihak Notaris dapat berperan menjadi saksi atau mungkin pengacara di depan hakim. Namun dikarenakan banyaknya nasabah, lama kelamaan sistem ini dianggap tidak efisien dan menyulitkan, akhirnya BRI melakukan inisiatif merubah prakteknya, selanjutnya BRI hanya menghubungi pihak Notaris (via telepon, dsb) tanpa menghadirkannya ketika terjadi transaksi. Meskipun tidak hadir, dalam pencatatannya di atas materai, pihak Notaris tetap dicantumkan sebagai saksi dengan menetapkan bahasa ‘‘Di hadapan Tn. Bambang SH. (pihak Notaris)’’.
Pertanyaan
- Meskipun sampai sistem terakhir ini relatif belum mendapatkan kendala dan gugatan nasabah, namun perlu kami tanyakan apakah praktek terakhir ini termasuk bagian dari persaksian palsu (syahâdah az-zûr)?
- Bagaimana hukum melakukan tindakan (bekerja) di badan notaris dengan menandatangani akte yang menerangkan kehadiran notaris di tempat transaksi sementara ia tidak menghadirinya ?
LBM-PPL
Jawaban
- Belum termasuk persaksian palsu (syahâdah az-zûr), karena belum terjadi persaksian di majelis hakim (adâ’ al-syahâdah). Akan tetapi Notaris diperbolehkan bersaksi sesuai dengan realita yang ada (semisal dengan mengatakan bahwa pada tanggal sekian saya ditelepon oleh pihak bank bahwa telah terjadi transaksi antara pihak bank dan nasabah), bukan bersaksi sesuai dengan yang tertera dalam akte perjanjian.
Referensi:
|
Ibarat
- 1. الموسوعة الفقهية الجزء السادس والعشرون ص: 253
شهادة الزور التعريف 1 – شهادة الزور مركب إضافي يتكون من كلمتين هما الشهادة والزور أما الشهادة في اللغة فمن معانيها البيان والإظهار والحضور ومستندها المشاهدة إما بالبصر أو بالبصيرة وأما الزور فهو الكذب والباطل وقيل هو شهادة الباطل يقال رجل زور وقوم زور أي مموه بكذب وشهادة الزور عند الفقهاء هي الشهادة بالكذب ليتوصل بها إلى الباطل من إتلاف نفس أو أخذ مال أو تحليل حرام أو تحريم حلال الحكم التكليفي : 2 – لا خلاف بين الفقهاء في أن شهادة الزور من أكبر الكبائر وأنها محرمة شرعا قد نهى الله تعالى عنها في كتابه مع نهيه عن الأوثان فقال الله تعالى “فاجتنبوا الرجس من الأوثان واجتنبوا قول الزور” وقد روي عن خريم بن فاتك الأسدي ” أن النبي e صلى صلاة الصبح فلما انصرف قام قائما فقال عدلت شهادة الزور الإشراك بالله ثلاث مرات ثم تلا هذه الآية “واجتنبوا قول الزور حنفاء لله غير مشركين به” وروى أبو بكرة رضي الله عنه عن النبي e أنه قال “ألا أنبئكم بأكبر الكبائر قلنا بلى يا رسول الله قال ثلاثا الإشراك بالله وعقوق الوالدين وكان متكئا فقال ألا وقول الزور وشهادة الزور ألا وقول الزور وشهادة الزور فما زال يقولها حتى قلت لا يسكت” وروي عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي e أنه قال “لن تزول قدما شاهد الزور حتى يوجب الله له النار” فمتى ثبت عند القاضي أو الحاكم عن رجل أنه شهد بزور عمدا عزره باتفاق الفقهاء مع اختلافهم في كيفية التعزير وسيأتي آراء الفقهاء فيها .